Senin, 14 Juni 2010

Membangun Karakter dan Watak Bangsa

Kata pengantar:


Puji syukur saya panjakan kehadirat Allah SWT,karena berkat rahmat dan bimbingan-Nya makalah tentang pandangan HAM,tentang pendidikan karakter dan masa depan bangsa ini dapat terselesaikan. Dalam menyusun dan menyelesaikan makalah ini, saya banyak mendapat bantak bantuan, pentunjuk, bimbingan, saaran dan kritik dari berbagai pihak baik secara langsung maupun tidak langsung.
Saya sebagai penulis percaya bahwa makalah ini masih banyak kekurangan. Untuk itu kritik dan saran yang bersifat membangun masih saya harapkan. Semoga makalah ini dapat berguna bagi kita semua. Amien...

Malang, juni 2010

penulis


Membangun Karakter dan Watak Bangsa

Melalui Pendidikan Mutlak Diperlukan
Apabila kita simak bersama, bahwa dalam pendidikan atau mendidik tidak hanya sebatas mentransfer ilmu saja, namun lebih jauh dan pengertian itu yang lebih utama adalah dapat mengubah atau membentuk karakter dan watak seseorang agar menjadi lebih baik, lebih sopan dalam tataran etika maupun estetika maupun perilaku dalam kehidupan sehari-hari.
Memang idealnya demikian. Namun apa yang terjadi di era sekarang? Banyak kita jumpai perilaku para anak didik kita yang kurang sopan, bahkan lebih ironis lagi sudah tidak mau menghormati kepada orang tua, baik guru maupun sesama. Banyak kalangan yang mengatakan bahwa "watak" dengan "watuk" (batuk) sangat tipis perbedaannya. Apabila "watak" bisa terjadi karena sudah dari sononya atau bisa juga karena faktor bawaan yang sulit untuk diubah, namun apabila "watak" = batuk, mudah disembuhkan dengan minum obat batuk. Mengapa hal ini bisa terjadi? Jelas hal ini tidak dapat terlepas adanya perkembangan atau laju ilmu pengetahuan dan teknologi serta informasi yang mengglobal, bahkan sudah tidak mengenal batas-batas negara hingga mempengaruhi ke seluruh sendi kehidupan manusia.

Makna Pendidikan
Banyak kalangan memberikan makna tentang pendidikan sangat beragam, bahkan sesuai dengan pandangannya masing-masing. Azyumardi Azra dalam buku "Paradigma Baru Pendidikan Nasional Rekonstruksi dan Demokratisasi", memberikan pengertian tentang "pendidikan" adalah merupakan suatu proses di mana suatu bangsa mempersiapkan generasi mudanya untuk menjalankan kehidupan dan untuk memenuhi tujuan hidup secara efektif dan efisien. Bahkan ia menegaskan, bahwa pendidikan lebih sekedar pengajaran, artinya, bahwa pendidikan adalah suatu proses dimana suatu bangsa atau negara membina dan mengembangkan kesadaran diri diantara individu-individu.
Di samping itu, pendidikan adalah suatu hal yang benar-benar ditanamkan selain menempa fisik, mental dan moral bagi individu-individu, agar mereka menjadi manusia yang berbudaya, sehingga diharapkan mampu memenuhi tugasnya sebagai manusia yang diciptakan Allah Tuhan Semesta Alam sebagai makhluk yang sempurna dan terpilih sebagai khalifahNya di muka bumi ini yang sekaligus menjadi warga negara yang berarti dan bermanfaat bagi suatu negara.

Perkembangan Pendidikan
Bangkitnya dunia pendidikan yang dirintis oleh Pahlawan kita Ki Hadjar Dewantara untuk menentang penjajah pada massa lalu, sungguh sangat berarti apabila kita cermati dengan saksama. Untuk itu tidak terlalu berlebihan apabila bangsa Indonesia sebagai bangsa yang besar memperingati hari Pendidikan Nasional yang jatuh setiap tanggal 2 Mei ini, sebagai bentuk refteksi penghargaan sekaligus bentuk penghormatan yang tiada terhingga kepada para Perintis Kemerdekaan dan Pahlawan Nasional. Di samping itu, betapa jiwa nasionalisme dan kejuangannya serta wawasan kebangsaan yang dimiliki para pendahulu kita sangat besar, bahkan rela berkorban demi nusa dan bangsa. Lantas bagaimana perkembangan sekarang? Sangat ironis, memang. Banyak para pemuda kita yang tidak memiliki jiwa besar, bahkan sangat mengkhawatirkan, janganjangan terhadap lagu kebangsaan kita pun sudah tidak hafal, jangankan menghayati. Namun, kita sangat yakin dan semakin sadar, bahwa hanya melalui dunia pendidikanlah bangsa kita akan menjadi maju, sehingga dapat mengejar ketertinggalan dengan bangsa lain di dunia, sekaligus merupakan barometer terhadap kualitas sumber daya manusia.
Krisis moneter yang berlanjut dalam krisis ekonomi yang terjadi hingga puncaknya ditandai dengan jatuhnya rezim Soeharto dari kekuasaannya pada Mei 1998 yang lalu, telah mendorong reformasi bukan hanya dalam bidang politik dan ekonomi saja, melainkan juga terimbas dalam dunia pendidikan juga. Reformasi dalam bidang pendidikan, pada dasarnya merupakan reposisi dan bahkan rekonstruksi pendidikan secara keseluruhan atau secara komprehensif integral. Reformasi, reposisi dan rekonstruksi pendidikan jelas harus melibatkan penilaian kembali secara kritis pencapaian dan masalah-masalah yang dihadapi dalam penyelenggaraan pendidikan nasional.
Apabila kita amati secara garis besar, pencapaian pendidikan nasional kita masih jauh dan harapan, apalagi untuk mampu bersaing secara kompetitif dengan perkembangan pendidikan pada tingkat global. Baik secara kuantitatif maupun kualitatif, pendidikan nasional masih memiliki banyak kelemahan mendasar. Bahkan pendidikan nasional, menurut banyak kalangan, bukan hanya belum berhasil meningkatkan kecerdasan dan keterampilan anak didik, melainkan gagal dalam membentuk karakter dan watak kepribadian (nation and character building), bahkan terjadi adanya degradasi moral.

Reformasi Pendidikan
Kita harus sadar, bahwa pembentukan karakter dan watak atau kepribadian ini sangat penting, bahkan sangat mendesak dan mutlak adanya (tidak bisa ditawar-tawar lagi). Hal ini cukup beralasan. Mengapa mutlak diperlukan? Karena adanya krisis yang terus berkelanjutan melanda bangsa dan negara kita sampai saat ini belum ada solusi secara jelas dan tegas, lebih banyak berupa wacana yang seolah-olah bangsa ini diajak dalam dunia mimpi. Tentu masih ingat beberapa waktu yang lalu Pemerintah mengeluarkan pandangan, bahwa bangsa kita akan makmur, sejahtera nanti di tahun 2030. Suatu pemimpin bangsa yang besar untuk mengajak bangsa atau rakyatnya menjadi "pemimpi" dalam menggapai kemakmuran yang dicita-citakan.
Banyak kalangan masyarakat yang mempunyai pandangan terhadap istilah "kelatahan sosial" yang terjadi akhir-akhir ini. Hal ini memang terjadi dengan berbagai peristiwa, seperti tuntutan demokrasi yang diartikan sebagai kebebasan tanpa aturan, tuntutan otonomi sebagai kemandirian tanpa kerangka acuan yang mempersatukan seluruh komponen bangsa, hak asasi manusia yang terkadang mendahulukan hak daripada kewajiban. Pada akhirnya berkembang ke arah berlakunya hukum rimba yang memicu kesukubangsaan (ethnicity). Kerancuan ini menyebabkan orang frustasi dan cenderung meluapkan perasaan tanpa kendali dalam bentuk "amuk massa atau amuk sosial".
Berhadapan dengan berbagai masalah dan tantangan, pendidikan nasional pada saat yang sama (masih) tetap memikul peran multidimensi. Berbeda dengan peran pendidikan pada negara-negara maju, yang pada dasarnya lebih terbatas pada transfer ilmu pengetahuan, peranan pendidikan nasional di Indonesia memikul beban lebih berat Pendidikan berperan bukan hanya merupakan sarana transfer ilmu pengetahuan saja, tetap lebih luas lagi sebagai pembudayaan (enkulturisasi) yang tentu saja hal terpenting dan pembudayaan itu adalah pembentukan karakter dan watak (nation and character building), yang pada gilirannya sangat krusial bagi notion building atau dalam bahasa lebih populer menuju rekonstruksi negara dan bangsa yang lebih maju dan beradab.
Oleh karena itu, reformasi pendidikan sangat mutlak diperlukan untuk membangun karakter atau watak suatu bangsa, bahkan merupakan kebutuhan mendesak. Reformasi kehidupan nasional secara singkat, pada intinya bertujuan untuk membangun Indonesia yang lebih genuinely dan authentically demokratis dan berkeadaban, sehingga betul-betul menjadi Indonesia baru yang madani, yang bersatu padu (integrated). Di samping itu, peran pendidikan nasional dengan berbagai jenjang dan jalurnya merupakan sarana paling strategis untuk mengasuh, membesarkan dan mengembangkan warga negara yang demokratis dan memiliki keadaban (civility) kemampuan, keterampilan, etos dan motivasi serta berpartisipasi aktif, merupakan ciri dan karakter paling pokok dari suatu masyarakat madani Indonesia. Jangan sampai yang terjadi malah kekerasan yang meregenerasi seperti halnya yang terjadi di IPDN yang menjadi sorotan akhir-akhir ini (Kompas 16/4), Kekerasan fisik yang mengorbankan nyawa dan harta benda tersebut, sangat jelas terkait pula dengan masih bertahannya "kekerasan struktural" (structural violence) pada tingkat tertentu. Akibatnya, perdamaian hati secara hakiki tidak atau belum berhasil diwujudkan.

Pendidikan Karakter
Tidak perlu disangsikan lagi, bahwa pendidikan karakter merupakan upaya yang harus melibatkan semua pihak baik rumah tangga dan keluarga, sekolah dan lingkungan sekolah, masyarakat luas. Oleh karena itu, perlu menyambung kembali hubungan dan educational networks yang mulai terputus tersebut. Pembentukan dan pendidikan karakter tersebut, tidak akan berhasil selama antar lingkungan pendidikan tidak ada kesinambungan dan keharmonisan.
Dengan demikian, rumah tangga dan keluarga sebagai lingkungan pembentukan dan pendidikan karakter pertama dan utama harus lebih diberdayakan. Sebagaimana disarankan Philips, keluarga hendaklah kembali menjadi school of love, sekolah untuk kasih sayang (Philips, 2000) atau tempat belajar yang penuh cinta sejati dan kasih sayang (keluarga yang sakinah, mawaddah, dan warrahmah). Sedangkan pendidikan karakter melalui sekolah, tidak semata-mata pembelajaran pengetahuan semata, tatapi lebih dari itu, yaitu penanaman moral, nilai-nilai etika, estetika, budi pekerti yang luhur dan lain sebagainya. Pemberian penghargaan (prizing) kepada yang berprestasi, dan hukuman kepada yang melanggar, menumbuhsuburkan (cherising) nilai-nilai yang baik dan sebaliknya mengecam dan mencegah (discowaging) berlakunya nilai-nilai yang buruk. Selanjutnya menerapkan pendidikan berdasarkan karakter (characterbase education) dengan menerapkan ke dalam setiap pelajaran yang ada di samping mata pelajaran khusus untuk mendidik karakter, seperti; pelajaran Agama, Sejarah, Moral Pancasila dan sebagainya.
Di samping itu tidak kalah pentingnya pendidikan di masyarakat. Lingkungan masyarakat juga sangat mempengaruhi terhadap karakter dan watak seseorang. Lingkungan masyarakat luas sangat mempengaruhi terhadap keberhasilan penanaman nilai-nilai etika, estetika untuk pembentukan karakter. Menurut Qurais Shihab (1996 ; 321), situasi kemasyarakatan dengan sistem nilai yang dianutnya, mempengaruhi sikap dan cara pandang masyarakat secara keseluruhan. Jika sistem nilai dan pandangan mereka terbatas pada kini dan di sini, maka upaya dan ambisinya terbatas pada hal yang sama.
Apabila kita cermati bersama, bahwa desain pendidikan yang mengacu pada pembebasan, penyadaran dan kreativitas sesungguhnya sejak masa kemerdekaan sudah digagas oleh para pendidik kita, seperti Ki Hajar Dewantara, KH. Ahmad Dahlan, Prof. HA. Mukti Ali, Ki Hajar Dewantara misalnya, mengajarkan praktek pendidikan yang mengusung kompetensi/kodrat alam anak didik, bukan dengan perintah paksaan, tetapi dengan "tuntunan" bukan "tontonan". Sangat jelas cara mendidik seperti ini dikenal dengan pendekatan "among"' yang lebih menyentuh langsung pada tataran etika, perilaku yang tidak terlepas dengan karakter atau watak seseorang. KH. Ahmad Dahlan berusaha "mengadaptasi" pendidikan modern Barat sejauh untuk kemajuan umat Islam, sedangkan Mukti Ali mendesain integrasi kurikulum dengan penambahan berbagai ilmu pengetahuan dan keterampilan. Namun mengapa dunia pendidikan kita yang masih berkutat dengan problem internalnya, seperti penyakit dikotomi, profesionalitas pendidiknya, sistem pendidikan yang masih lemah, perilaku pendidiknya dan lain sebagainya.
Oleh karena itu, membangun karakter dan watak bangsa melalui pendidikan mutlak diperlukan, bahkan tidak bisa ditunda, mulai dari lingklingan rumah tangga, sekolah dan masyarakat dengan meneladani para tokoh yang memang patut untuk dicontoh. Semoga ke depan bangsa kita lebih beradab, maju, sejahtera kini, esok dan selamanya. Seiring dengan peringatan Hari Pendidikan Nasional 2 Mei Tahun 2007 yang lalu dan mereka yang lahir pada tanggal yang sama, semoga panjang umur dan berjiwa pendidik yang patut disuri tau-ladani generasi yang akan datang, bahkan lestari selamanya.



pendidikan karakter sebagai upaya pengembangan nilai integritas bangsa

Jika Anda menetap di suatu tempat untuk beberapa hari saja,
mulailah belajar menanam padi.
Jika Anda berfikir menetap untuk jangka waktu lebih panjang lagi,
mulailah menanam pohon.
Jika Anda berpikir menetap selama-lamanya mulailah dengan mendidik manusianya.

Confusius
Globalisasi serta perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang luar biasa memang telah membuat dunia serba terbuka. Ketika terjadi peningkatan aktivitas lintas-batas dan komunikasi secara maya (virtual) ke seluruh penjuru dunia dalam waktu singkat serta majunya teknologi dan komunikasi, maka hanya yang siap yang bisa meraih kesempatan. Globalisasi akan memicu perubahan tatanan pemenuhan kebutuhan secara mendasar sesuai dengan karakteristiknya yangmobile, plural, kompetitif.
Selain itu, revolusi informasi, revolusi ilmu pengetahuan, interdependensi antar anggota/kelompok masyarakat, persoalan HAM, persoalan lingkungan hidup, akan menjadi tantangan masa depan bagi umat manusia di muka bumi ini. Keadaan ini akan membuat kondisi masyarakat mengalami metamorfosis menuju open society/masyarakat terbuka.
Tentunya, strategi dan implementasi yang tepat dalam merespon tantanganmenjadi penting disini. Singapura yang tidak memiliki kekayaan sumber daya alam, misalnya, sejak lama memilih untuk mengembangkan potensi manusianya dalam bidang sumber daya manusia. Dalam hal ini, mereka sadar betul, dalam dunia datar dimana manusia akan semakin terfasilitasi untuk bermigrasi maka diperlukan manusia yang bisa mengelola, memimpin sekaligus mudah beradaptasi dalam budaya berbeda.
Contoh lain adalah India yang sudah lama menguasai pangsa pasar sumber daya teknologi informasi dan Filipina dalam bidang akuntansi. Jika kita bandingkan, maka Indonesia hanya mampu mengirim sumber daya manusia tingkat pembantu dan buruh.
Kunci untuk mencapai kemajuan sudah sangat jelas, yakni penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi. Sejarah telah menunjukkan bahwa bangsa-bangsa yang semula miskin dan tidak diperhitungkan lagi kini menjadi bangsa yang maju karena selama puluhan tahun konsisten menginvestasikan sumber-sumber yang mereka miliki untuk mencerdaskan warganya melalui pendidikan dan dengan tekun mengejar ketertinggalan dalam ilmu teknologi.
Hikmah itu sepertinya tidak diambil oleh bangsa Indonesia sebagai pelajaran. Sampai saat ini pendidikan menjadi suatu masalah yang menjadi kompleks dan rumit untuk dipecahkan atau justru memang tidak ingin dipecahkan oleh sebagian pihak. Pada masa dimana bangsa ini menuju masa persaingan global, krisis karakter karena pendidikan menjadi salah satu masalah puncak yang belum dapat diselesaikan.
Berawal di tahun 1997, saat dimana bangsa ini mengalami krisis ekonomi perbankan dan bahkan mengalami masa ‘puncak’ dari krisis karakter. Bentuk konkret dari krisis karakter ini terlihat dari kerusakan korupsi yang makin menggeliat, baik yang terlihat dengan jelas maupun yang tidak, kerusakan ekonomi, adanya konflik horizontal, karakter yang anarki dan cenderung menyenangi ‘kekerasan’ dan ‘kemunafikan’, hilangnya kebanggaan menjadi bangsa Indonesia. Proses melemahnya karakter bangsa ini berjalan perlahan-lahan dan terus menggerogoti bangsa ini sehingga masyarakat sendiri menjadi komunitas otonomi kemandirian tanpa visi dan kerangka integrasi bangsa.
Dalam uraian tulisan di bawah ini, penulis mencoba untuk merumuskan analisis masalah pendidikan yang berlangsung di Indonesia kemudian penulis akan membahas peranan proses pendidikan karakter sebagai bagian kreasi penciptaan nilai-nilai integritas dalam kehidupan bangsa Indonesia. Menarik benang merah dari gulungan benang yang kusut agaknya akan mempermudah kita mencari solusi permasalahan bangsa ini. Sejauh mana pendidikan karakter itu sendiri terhadap proses pengembangan kualitas SDM unggul Indonesia menjadi menarik untuk dibahas. Semoga solusi yang ada bisa menjadi obat penawar dari penyakit bangsa ini sehingga harapan tentang masa depan yang cerah bisa kembali mewarnai senyum putra-putri kecil Indonesia sebagai pemegang estafet kepemimpinan bangsa ini.

Rumusan Masalah
Rasa kebangsaan, semangat kebangsaan, paham kebangsaan itu adalah sesuatu hal yang unik, yang ada di setiap masyarakat, bukan monopoli bangsa Indonesia. Munculnya rasa cinta tanah air dan semangat solidaritas sesama bangsa merupakan perwujudan rasa kebangsaan itu sendiri. Manifestasinya tentu dapat berubah sesuai zamannya.
Semangat itu kemudian perlu disusun di dalam sasaran-sasaran yang bersifat kualitatif dan kuantitatif yang berbuah suatu pemahaman. Untuk bisa mencapai hal tersebut, proses pendidikan harus diarahkan pada penguasaan ilmu pengetahuan yang maju, menguasai manajemen yang handal, dan menguasai teknologi tinggi. Namun, untuk mengimbangi hal tersebut dibutuhkan pendidikan yang tetap berpegang teguh pada karakter yang menjunjung nilai-nilai moralitas.
Pendidikan sejatinya pertama-tama adalah proses untuk menanamkan sikap menghargai perbedaan warna kulit, suku, ras yang mana perbedaan tersebut harus diterima sebagai suatu hal yang taken for granted. Pendidikan juga bertujuan untuk membentuk nilai budaya yang menyangkut cara berpikir bebas (freedom of thought), tanpa ada tekanan dan paksaan dari berbagai pihak dan kreatif untuk menghasilkan gagasan-gagasan baru dalam mendekati suatu realitas, inovatif dalam mencari solusi permasalahan. Disini, pembentukan masyarakat yang kritis terhadap perkembangan zaman, korektif terhadap penyimpangan yang terjadi dalam masyarakat dan yang lebih penting adalah sikap konstruktif yang mencoba memperbaiki keadaan sebagai suatu konsekuensi dari sikap yang kritis dan korektif.
Secara umum, proses perbaikan tentunya harus bisa direalisasikan dalam jangka waktu yang sesingkat-singkatnya. Tentunya perbaikan dilakukan dalam setiap aspek kehidupan secara menyeluruh lewat tahapan-tahapan yang kita buat. Dalam jangka waktu perbaikan ini, aktualisasi terhadap kondisi-kondisi terbaru harus dijadikan sebagai aspek operasional dalam bergerak sehingga tidak ada ketimpangan pemikiran atau pun gerak antara perbaikan dan aktualisasi.
Sistem yang terlampau kaku dan tidak dinamis harus mulai kita ubah lewat tahapan-tahapan. Dan dalam era globalisasi ini, maka proses pendidikan pembentukan karakter kebangsaan menjadi mutlak dibutuhkan. Karakter ini akan terbentuk melalui proses pendidikan. Pendidikan tentunya tidak hanya untuk menguasai kompetensi, namun yang lebih penting adalah membangun karakter. Kompetensi tanpa karakter yang baik akan menjadi sumber malapetaka.
Pendidikan yang membangun kesadaran baru atau menguatkan kesadaran bahwa sumber daya alam negeri ini akan terkuras habis. Tanpa kecerdasan dan karakter yang tangguh dan baik, bangsa Indonesia akan dipandang sebelah mata oleh bangsa lain. Tidak ada lagi ‘makan siang gratis’ atau menjadi paria diantara bangsa-bangsa yang ada saat sekarang ini.
Pendidikan juga harus diarahkan untuk membangun manusia Indonesia yang jujur dan berintegritas. Dalam jangka panjang, tidak ada negara bebas korupsi tanpa masyarakat yang berpegang teguh pada kejujuran dan integritas. Kejujuran sendiri merupakan salah satu sendi utama religius.
Selain itu, hal lainnya yang perlu kita sadari bahwasanya pendidikan untuk membangun masyarakat yang lebih dewasa (memecahkan konflik atau perbedaan pendapat dengan cara damai, berhenti mencari kambing hitam, dan mau belajar mengatur diri sendiri). Pendidikan merupakan sarana membangun masyarakat yang inklusif, bukan menguatkan ekslusivitas, bukan untuk saling menutup diri, bukan untuk saling mengasingkan diri, dan bukan untuk saling mencerca, dan belajar untuk menemukan platform bersama di tengah-tengah perbedaan. Membangun semangat ke-KITA-an dan bukan mengagungkan semangat ke-KAMI-an. Pendidikan juga perlu diarahkan untuk meningkatkan kepercayaan diri bangsa dan bukan untuk menghancurkan harga diri dengan terus-menerus mencerca diri sendiri.
Sekali lagi, masalah bangsa akan tercermin dari proses pendidikan yang berlangsung di lingkungan masyarakat. Lingkungan akan menjadi suatu lahan pembelajaran yang membentuk karakter manusia sesuai dengan nilai-nilai moral dan keyakinan yang ada. Kualitas pendidikan yang rendah akan sejalan dengan pembentukan mental karakter pribadi dari bangsa ini. Apabila kita mencermati proses pelunturan karakter bangsa ini, maka ada beberapa hal yang perlu menjadi penekanan disini. Bahwa pemimpin pemerintahan dan penentu kebijakan ”tidak mampu belajar” dari sejarah bangsa sendiri, khususnya mengenai paradigma mengenai ’kemerdekaan yang direbut dan dicapai dengan membangun dan mengerahkan modal maya, bukan modal fisik’. Artinya, dalam proses pembangunan kualitas diri seorang manusia, karakter yang berupa nilai-nilai integritas, kedewasaan, mentalitas berkelimpahan merupakan salah satu modal maya, di samping pengetahuan dan semangat. Modal maya ini akan menjadi bekal putra-putri bangsa untuk bisa berkarya lebih baik menuju masa depan
Belajar dari sebuah lagu Indonesia Raya (W.R. Supratman): ”…bangunlah jiwanya dan bangunlah badannya…untuk Indonesia Raya” bahwa jiwa itu akan selalu mendahului badan dan jiwa merupakan karakter yang termasuk modal maya, sedangkan badan merupakan modal fisik.
Proses pelunturan dan kerusakan mulai ketika pemimpim pemerintahan dan pembuat kebijakan berpegang pada keyakinan bahwa ’Indonesia bisa dibangun hanya dengan uang, kalau ada uang maka segalanya akan selesai dengan baik’. Orang-orang kemudian mulai mendewasakan uang atau modal fisik dan mengabaikan karakter. Dan uang atau pinjaman hutang dari IMF, Bank Dunia, dan kreditor lainnya akan menjadi solusi dari seluruh permsalahan bangsa saat ini.
Pemikiran/cara pandang masalah dengan cara di atas cenderung akan mengonsentrasikan pembangunan pada hal-hal yang bersifat fisik, dan mengabaikan investasi jangka panjang yang sangat diperlukan untuk kejayaan bangsa ini di masa depan, yaitu pendidikan untuk membangun karakter dan kompetensi. Selain itu, pola pikir tersebut akan membawa kita menjadi penganut pragmatisme yang berlebihan.
Semangat untuk membangun karakter kebangsaan menjadi manusia Indonesia seutuhnya perlu kita agendakan dalam waktu sesingkat-singkatnya. Hal-hal lain yang perlu kita rencanakan sebagai tahapan membentuk masyarakat Indonesia yang madani adalah:

1. meningkatkan dan mengembangkan sumber daya manusia Indonesia
2. membangun bangsa yang mandiri, berdaya saing dan tumbuh berkelanjutan, dihormati bangsa lain, dengan semangat modernisasi & globalisasi
3. membangun masyarakat korporasi, yang menjadi penopang utama ekonomi yang mandiri, berdaya saing dan tumbuh berkelanjutan di era globalisai
4. membangun sumber daya manusia indonesia yang berbasis kompetensi (berdaya saing)

UNESCO melalui “the International Commission on Education for the Twenty-first Century” yang dipimpin oleh Jacques Delors sebagaimana dikutip Soedijarto (2000: 85) menyatakan bahwa untuk memasuki abad ke-21, pendidikan perlu dimulai dengan empat pilar proses pembelajaran , yaitu :

(1) learning to know,
(2) learning to do,
(3) learning to be, dan
(4) learning to live together.

Soedijarto menyatakan bahwa proses pembelajaran ideal ini dengan sendirinya akan selalu berorientasi pada kepentingan dan kebutuhan peserta didik dan akan dapat menghasilkan manusia terdidik yang mampu membangun masyarakatnya. Dengan demikian maka bangsa diharapkan akan merasakan manfaat dari pendidikan.
Pada prakteknya nanti, pendidikan harus berorientasi pada pembinaan karakter yang baik dan bersifat massal. Pendidikan dibagi menjadi dua jalur kompetensi, dimana terdapat jalur anak-anak berbakat dan jalur untuk mereka yang memiliki kemampuan rata-rata. Untuk menopang kemajuan suatu negara, tambahnya, perlu diciptakan kelompok ilmuwan yang elitis tetapi bersifat inklusif. Suatu kelompok kecil orang-orang yang sangat pintar yang tidak arogan, peduli pada nasib orang lain, dan punya semangat egaliter. Pada lapisan lainnya adalah kelompok profesional yang andal dan masyarakat kebanyakan yang melek huruf dalam arti luas.
Pendidikan harus dikembalikan pada asas yang menjadi dasar, seperti penentuan arah dan tujuan pendidikan, penyusunan kurikulum dan standar nilai, proses belajar mengajar, penentuan kualifikasi pengajar serta budaya kampus. Orientasi keluaran (output) berupa keseimbangan pada tiga unsur pendidikan (karakter diri, pengetahuan, soft skill).
Saat kita berbicara mengenai sebuah lembaga pendidikan maka di dalamnya harus terdapat kurikulum yang paradigmatik, guru yang amanah dan memiliki kompetensi di bidangnya, proses belajar mengajar, lingkungan dan budaya kampus. Selain itu, terdapat ruang interaksi dan sinergi dengan keluarga dan masyarakat. Adanya interaksi dan sinergi ini diharapkan dapat menciptakan manusia Indonesia yang dirindukan pada abad mendatang, yaitu manusia yang memiliki kualitas SDM-nya serta mentalitasnya. Jika dimensi ini benar-benar tercipta sudah barang tentu ia sudah siap menghadapi bahkan siap sebagai pelaku di era teknologi itu karena salah satu agenda penting bagi bangsa kita di abad 21 adalah mengusahakan agar kualitas tenaga kerja kita menjadi tenaga kerja bersaing dengan kemapanannya. Sumber daya manusia bangsa ini perlu dikembangkan hingga mencapai kualitas yang setara dengan bangsa-bangsa yang telah maju terlebih dahulu dibandingkan Indonesia. Hal ini semakin penting, karena selain masalah ekonomi yang menjadi penyakit akut di Indonesia, sesungguhnya kualitas SDM menjadi titik kritis sentral dalam proses tata kemajuan peradaban suatu bangsa secara luas baik dilihat secara politik, teknologi, kultural, maupun manajerial.
Untuk itu, bangsa ini tidak butuh sekedar gagasan belaka. Gagasan mengenai pendidikan karakter bangsa ini belum cukup untuk bisa menumbuhkan integritas bangsa ini. Gagasan tetap akan menjadi sampah bila tidak diaplikasikan dalam realitas. Salah satu pendekatan yang ditawarkan adalah sinergisasi antara pendidikan karakter dengan pembangunan budaya integritas di kalangan masyarakat. Sebelum berbicara jauh mengenai cara yang akan ditempuh untuk membuat budaya tersebut, maka akan dikaji terlebih dahulu arti budaya secara umum sehingga tidak terjadi distorsi pemahaman.
Budaya menurut Edgar H. Schein (1985) merupakan sebuah totalitas bentuk dari perilaku, kepercayaan, keyakinan, institusi, seni, tradisi, dan segala produk pemikiran manusia yang menjadi karakteristik suatu kelompok/masyarakat dalam lingkungan sosial. Selain itu, mereka terdiri dari simbol-simbol, ritual, nilai-nilai kepahlawanan, keyakinan dan ide. Sedangkan definisi budaya menurut Prof. Soebiyakto merupakan daya dari budi yang berupa cipta, rasa, dan karsa secara psikologis yang tercermin dalam tata nilai, sikap, dan pengetahuan. Perubahan budaya dapat dilakukan dengan menggeser melalui proses sosialisasi, internalisasi, enkulturisasi. Budaya dapat terbentuk secara sengaja maupun tidak sengaja yang akan membentuk iklim dan suasana yang unik.
Bagaimana tatanan kebudayaan itu dapat terbentuk, maka kita akan belajar dari contoh-contoh yang ada. Misalnya, budaya Kaizen. Budaya Kaizen di Jepang adalah budaya lokal yang sudah mendarah daging sejak nenek zaman samurai. Ditopang semangat Bushido membuat setiap orang memiliki etos kerja luar biasa. Contoh lainnya adalah semangat mencari kekayaan untuk bekal kehidupan akhirat bagi penganut Kong Hu Chu membuat mereka mati-matian mencari harta
Nyatanya, sebuah reformasi di bidang kebudayaan baru bisa bergulir apabila nilai-nilai di dalam masyarakat bisa dikukuhkan menjadi sebuah etos. Harus dipahami terlebih dulu bahwa kebudayaan merupakan suatu kategori jangka panjang dan menyangkut pengetahuan serta nilai-nilai. Sebuah pengetahuan yang dihasilkan kebudayaan baru akan berarti apabila telah diterjemahkan menjadi pandangan dunia (world view), atau semacam pegangan bagi masyarakat.
Sayangnya, hanya sedikit pengetahuan yang diterjemahkan dalam pandangan dunia ini. Hal ini terjadi karena realitas yang ada dalam keseharian masyarakat tidak memberikan kesempatan pada pengetahuan untuk berkembang menjadi sebuah pegangan atau hukum. Tidak adanya law inforcement di masyarakat menjadikan hukum hanya sebagai pengetahuan dan bukan sebagai kekuatan yang harus ditegakkan. Dari sinilah kemudian terjadi impunitas.
Distorsi pemahaman pun mulai menjamur di kalangan masyarakat Indonesia, khususnya para elitis. Hal ini ditandai dengan banyaknya gejala korupsi di Indonesia yang mengantarkan Indonesia dalam jajaran negara terkorup di dunia. Selain itu, proses penanaman ideologi etik dan moral yang dilakukan lewat agama sepertinya tidak berkorelasi langsung terhadap perubahan masyarakat. Perlu disadari memang, proses ini membutuhkan kesadaran moral dari setiap anggotanya. Moral menjadi kekuatan sekaligus batasan dari proses dialektika masyarakat karena setiap proses sosial selalu sarat nilai. Etik dan moral telah terbukti mampu merangsang dan menjadi motor perkembangan masyarakat ke arah lebih baik
Seperti juga pengetahuan yang harus diterjemahkan menjadi pandangan hidup, nilai-nilai kebudayaan juga harus diterjemahkan menjadi etos agar berfungsi. Namun, nyatanya, sedikit sekali nilai yang telah diterjemahkan. Etos menjadi penting karena dia memberikan kriteria dalam setiap perilaku dan mendefinisikan seseorang berdasarkan apa yang dilakukannya. Etos akan menjaga jarak seseorang sehingga antara penarikan diri dan partisipasi diri tetap ideal.
Memulai kerja peradaban besar ini untuk menuju integritas nasional sepertinya memerlukan kemauan dan kerja keras yang besar. Belajar dari budaya Kaizen, maka dalam prosesnya kita perlu mempertahankan nilai budaya yang positif, mengganti nilai budaya negatif dengan budaya yang lebih baik, berani mengambil keputusan berubah secara bertahap dengan tahap yang jelas dan siap untuk berada dalam kondisi yang tidak aman
Pendidikan karakter dan etos bangsa sendiri menjadi sebuah titik terang dalam proses pembangunan peradaban integritas bangsa yang mapan. Karakter manusia yang dibentuk dari etos-etos bangsa akan memupuk kekuatan integritas dalam setiap individunya. Dengan adanya etos ini pun, manusia diharapkan dapat memanusiakan dirinya ke tingkat yang lebih agung dan mulia
Upaya pembangunan integritas bangsa ini dimulai pada tingkat paling fundamental, yaitu etos. Etos sendiri berasal dari bahasa Yunani yang berarti adat dan kebiasaan. Menurut Jansen Sinamo, maka etos merupakan kunci dan fondasi keberhasilan suatu masyarakat atau bangsa diterima secara aklamasi. Selain itu, etos merupakan syarat utama bagi semua upaya peningkatan kualitas tenaga kerja atau SDM, baik pada level individual, organisasional, maupun sosial. Selain itu, metode pembangunan integritas bangsa harus dilakukan secara fokus dan serius, membawa misi perbaikan dalam proses berkesinambungan, serta keterlibatan total dari seluruh elemen masyarakat Indonesia
Pembangunan nasional suatu bangsa akan sukses berkesinambungan bila rakyatnya memiliki tiga hal secara seimbang, yaitu pengetahuan, kemampuan berorganisasi, dan etos kerja yang baik. Di atas ketiga fondasi inilah akan dihasilkan buah-buah material finansial. Schumacher, E. F. 1987. Kecil Itu Indah. Jakarta. LP3ES.
Beberapa uraian mengenai etos apa saja yang perlu ditanamkan dan diprioritaskan dalam upaya pembangunan integritas bangsa ini adalah

Kejelasan Hasrat Inti.
Kejelasan hasrat yang dituangkan menjadi visi dan target yang bening bagaikan kristal merupakan syarat perlu bagi munculnya kerja keras. keras, keyakinan, dan fokus adalah tiga serangkai kunci menuju keberhasilan. Disini, kerja keras merupakan elemen pendukung yang berfungsi sebagai wahana aktualisasi diri bagi sang manusia pekerja. Potensi diri manusia berkembang melalui kerja keras dan proses aktualisasi diri.

Esensi Kerja
Kerja sebagai kehormatan, dan karenanya kita wajib menjaga kehormatan itu dengan menampilkan kinerja yang unggul (excellent performance). Kehormatan itu berakar pada kualitas dan keunggulan. Misalnya, Singapura, meskipun negeri kecil dari segi ukuran, tetapi tinggi dari segi mutu birokrasi, nyaris bebas KKN, dan unggul di bidang SDM dan pelayanan sehingga memperoleh status terhormat dalam percaturan bangsa-bangsa. Yang utama adalah keunggulan budi dan keunggulan karakter yang menghasilkan kerja dan kinerja yang unggul pula. Tentunya, keunggulan tersebut berasal dari buah ketekunan seorang manusia Mahakarya. Kemampuan menghayati pekerjaan menjadi sangat penting sebagai upaya menciptakan keunggulan. Intinya, bahwa saat kita melakukan suatu pekerjaan maka hakikatnya kita sedang melakukan suatu proses pelayanan. Menghayati pekerjaan sebagai pelayanan memerlukan kemampuan transendensi yang bersifat melampaui ruang gerak manusia yang kecil.

Kerja Profesional.
Kerja profesional adalah seperangkat perilaku kerja positif yang berakar pada kesadaran yang kental, keyakinan yang fundamental, disertai komitmen yang total pada paradigma kerja yang integral.

Tanggung Jawab.
Tidak mungkin ada tanggung jawab tanpa konsep amanah (kepercayaan). Dengan kata lain, amanah mendahului tanggung jawab; tegasnya amanah melahirkan tanggung jawab.

Integritas Individu
Integritas disini berarti menunaikan amanah dan tanggung jawab kita hingga tuntas selesai. Dengan menunaikannya berarti kita telah bersikap jujur pada hati kita sendiri, dimana misi yang telah kita terima dan akui di hadapan para konstituen kita kemudian kita tunaikan dengan segenap hati, segenap pikiran, segenap tenaga kita. Keutuhan semua ini, yakni pengakuan mulut, perasaan, pikiran, dan tenaga kita, pada hakikatnya itulah yang disebut integritas. Integritas adalah komitmen, janji yang ditepati, untuk menunaikan tanggung jawab hingga selesai sampai tuntas, tidak pura-pura lupa pada tugas atau ingkar pada tanggung jawab. Dalam proses penerapannya, untuk membangun integritas diperlukan pengetahuan akan dan komitmen kuat pada nilai-nilai etika. Keduanya tidak terpisahkan sebagai prasyarat utama bagi kemampuan kita mengemban amanah. Hal ini didukung oleh adanya kompetensi teknis (keandalan/reliability) dan kompetensi etis (trustworthiness) yang dimiliki oleh pribadi.

Pengorbanan.
Untuk mencapai integritas pun, kita harus selalu berkorban. Sebuah perubahan memang kerap kali membawa korban. Namun, pengorbanan untuk suatu idealisme adalah kebahagiaan, dan pengorbanan yang didorong oleh rasa cinta adalah sukacita.
Proyek peradaban ini memerlukan orang-orang dengan visi yang sama, mempunyai integritas terhadap bangsanya, dan sifatnya masif dalam tatanan masyarakat Indonesia. Integritas ini perlu didukung oleh sistem keberhasilan yang dilakukan secara berkelanjutan (sustainable success system) di semua tingkatan, meliputi personal, interpersonal, organisasional, dan sosial secara serentak. Gagasan konseptual yang kiranya berfungsi sebagai fondasi, solusi, dan strategi sukses yang koheren, konsisten, simetris, dan komperehensif untuk memajukan individu, profesi, organisasi, masyarakat, suku bangsa, dan negara.
Fondasi dari bangunan apa pun, pada tingkat pribadi, keluarga, masyarakat, organisasi, bahkan negara besar seperti Indonesia haruslah berlandaskan prinsip moral dan etika yang bersifat abadi, universal, dan absolut.
Pada akhirnya, perlu ada proses integrasi nilai dalam proses penerapan budaya integritas pada bangsa Indonesia. Integrasi dengan pemahaman yang utuh dan keyakinan yang kokoh. Bahwa setiap kebaikan mengarah pada sifat positif dan membangun yang melibatkan pendayagunaan potensi diri baik secara individual maupun massal. Dari kebaikan, maka keterpercayaan dibangun. Keterpercayaan adalah hal yang bisa dipercaya. Intinya adalah stamina moral sekaligus kompetensi bahwa kita bisa dipercaya. Keterpercayaan (trustworthiness) merupakan semua konotasi bekerja benar penuh tanggung jawab, menjaga dan memelihara, memperbaiki dan merawat, serta mengelola dan membina. Bangunan keterpercayaan ini yang akan menimbulkan dedikasi penuh, dimana kita sebagai individu mempunyai semangat yang selalu mendorong kita untuk berkomitmen sepenuh hati, sebulat pikiran, segenap jiwa, sekuat tenaga-dengan totalitas-padapada tujuan bangsa yang luhur dan berharga. Dilihat dari luar, maka kita akan tampak sebagai orang yang penuh loyalitas, kesetiaan, dan pengabdian. Setiap gerak yang dilakukan bersifat progresif, selalu ada aspirasi untuk naik, merambat, ekspansif, multiplikasi, ekskalasi, evolusi, ekstensi, perluasan, perlebaran, peninggian, pengembangan, pendewasaan, dan pemekaran.
Kekuatan integrasi nilai ini akan membuat bangsa ini terangkat menjadi bangsa yang unggul secara prima-ultima-optima dalam setiap aspek kehidupannya. Keadaan ini juga akan menimbulkan kesadaran penuh yang dengan tulus dan rendah hati selalu siap melayani tugas-tugas besar bangsa yang menunggu.


REFERENSI:
Sinamo, Jansen. Jakarta. 2005. Ethos! 8 Etos Kerja Profesional. Institut Mahrdika
Kompas Online. Jakarta. 2004. Pendidikan Involusi Dalam System Pendidikan Nasional.
Kompas. Jakarta. 2006. Sewindu Reformasi:Mencari Visi Indonesia 2030
Raka, I Gede. 2006. Pendidikan Untuk Membangun Karakter. FTI Institut Teknologi Bandung. Bandung.
Www.google.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar